Menikmati Mahakarya Arsitektur dan Musik Dalam Gedung Concert Hall
15212095 | Aviannisa Putri
Berliner Philharmoniker merupakan sebuah gedung concert hall di Berlin, ibukota negara Jerman. Gedung yang merupakan rumah bagi Berlin Philharmonic Orchestra ini dirancang oleh arsitek Hans Scharoun dan mulai beroperasi pada tahun 1963.
Saya mengunjungi gedung ini pada bulan Juni 2015. Ketika saya tiba di Berlin pada sore hari, saya melihat gedung mencolok berwarna kuning yang diterangi lampu. Awalnya saya tidak tahu ini merupakan gedung apa, lalu setelah sampai di hotel dan browsing internet, saya mengetahui bahwa gedung ini merupakan sebuah concert hall dan terbuka untuk tour pada setiap harinya. Ketika saya mengikuti tour untuk mengelilingi gedung pada hari esoknya, saya langsung jatuh cinta pada gedung ini, terutama pada ruang dalamnya. Saya hanya akan membahas gedung utama yang memiliki ruangan concert hall.
Hal pertama yang disadari ketika memasuki lobi gedung ini adalah susunan tangga yang bertumpuk-tumpuk. Tidak ada axis khusus untuk sirkulasi vertikal, tangga terletak secara acak, saling melewati dan menumpuk satu sama lain. Bentuk tangganya pun beragam, ada tangga lurus, ada tangga berbentuk U, ada pula tangga berbentuk spiral. Selain bentuk tangga yang bervariasi, bentuk kolom bangunan ini pun bervariasi. Jika dilihat dari Gambar 2, ada kolom berbentuk lingkaran di bagian belakang, ada kolom segi banyak yang lurus berwarna gelap, dan ada dua kolom persegi yang miring pada bagian tengah. Bahkan, material penutup lantai juga beragam warna dan tekstur.
Area publik gedung ini difasilitasi oleh pencahayaan alami yang cukup melewati skylight pada atap lantai dua. Skylight dirancang dengan mempertimbangkan arah datang matahari dan menggunakan kaca glazing, sehingga cahaya yang masuk tidak menimbulkan panas. Interior gedung ini juga diwarnai dengan susunan kerawang berbentuk bulat dan diisi dengan kaca berbentuk silinder yang diberi berbagai macam warna. Ada dinding kerawang dengan aksen warna merah, biru, kuning, hijau, pink, dan ungu. Beberapa bagian bangunan yang dihias dengan dinding kerawang ini berfungsi sebagai transisi dari area publik ke area privat, yaitu ruang concert hall itu sendiri. Karena sinar yang datang dari dinding kerawang tersebut berasal dari cahaya alami matahari, warna yang ada pada kaca akan meneruskan dan menggelapkan cahaya putih semula menjadi warna yang sama dengan kaca. Efek warna ruang yang dihasilkan menjadi lebih intim dan privat, sesuai dengan fungsinya sebagai ruang transisi.
Setelah disuguhkan dengan berbagai macam elemen di area publik gedung ini, rombongan tour saya dipandu oleh pemandu untuk memasuki ruang concert hall utama. Ruangan ini tidak seperti concert hall pada umumnya. Pada Philharmonie, panggung orkestra diletakkan di tengah dengan kursi penonton yang berundak-undak mengelilingi di sekitarnya, sehingga panggung terletak pada posisi lebih rendah disbanding seluruh kursi penonton. Jika dilihat dari tengah ruang, susunan kursi penonton tidak simetris antara sisi kiri dan kanan. Undakan yang dimiliki sisi kiri lebih banyak, sedangkan di sisi kanan terdapat piano organ besar di antara kursi-kursi penonton.
Langit-langit concert hall yang berada di ketinggian 22 meter di atas panggung dirancang dengan sangat memperhatikan nilai estetis, namun juga sangat berfungsi dengan baik. Kebetulan, ketika saya sedang dijelaskan mengenai ruang ini oleh pemandu, ada dua pemusik muncul dari backstage dan mulai memainkan biola untuk check sound. Tanpa bantuan akustik apapun, suara biola yang dimainkan salah satu pemusik itu dari panggung terdengar sangat jernih dan jelas, meskipun pada saat itu saya sedang duduk di kursi yang cukup belakang. Lampu pada langit-langit diletakkan secara menyebar tanpa patokan khusus. Terdapat juga semacam duri-duri yang muncul dari plafon sebagai pemantul suara. Selain elemen yang ditanamkan pada plafon, terdapat pemantul suara dari kayu dan lampu gantung yang terletak tepat di atas panggung orchestra. Lampu-lampu gantung tersebut memberikan penerangan yang lebih fokus pada panggung. Kayu yang digunakan sebagai reflektor gantung juga merupakan material dari senderan kursi penonton. Dudukan kursi penonton terbuat dari bahan sofa dan kain untuk menyerap suara.
Persoalan pertama yang saya ambil dari pengalaman di Berlin Philharmonie adalah citra/image. Gedung pertunjukkan musik di dunia sudah banyak, dan masing-masing memiliki ciri khasnya masing-masing. Ciri khas dari Berlin Philharmonie adalah bentuknya yang segilima. Bentuk ini diterjemahkan ke dalam logonya sehingga pengunjung dapat dengan mudah mengingat bentuk gedung ini. Image yang ingin disampaikan arsitek adalah tentang langit dan bumi. Dari awal masuk, tangga yang saling menumpuk dan terletak secara acak melambangkan bahwa ada banyak jalan untuk mencapai puncak, sama halnya seperti sedang mendaki gunung. Material lantai yang berbeda-beda melambangkan bumi dan beragam kandungan tanahnya. Di dalam concert hall, lampu yang terletak secara acak melambangkan langit malam yang penuh bintang, karena posisi bintang juga acak dan tidak beraturan. Sedangkan reflektor yang menggantung dari langit-langit melambangkan awan, sehingga dibuat melengkung. Susunan kursi dan panggung dibuat seperti menonton dari atas gunung ke lembah.
Persoalan kedua yang saya bahas adalah mood. Mood dan atmosfir kreatif dihasilkan melalui rancangan yang memberikan banyak pilihan bagi sang pengguna. Alur sirkulasi pada area publik sengaja dibuat bebas agar pengunjung dapat memilih tangga mana yang harus dilewati, material lantai apa yang harus ia ikuti, dan sebagainya. Warna-warna pada dinding kerawang membangkitkan stimulus kreatif pada pengunjung. Variasi kolom pada area publik juga membuat pengunjung bertanya-tanya mengapa begitu, dan orang kreatif terkenal akan rasa keingintahuannya yang tinggi.
Persoalan ketiga dari bangunan ini adalah kenyamanan. Sebuah concert hall memiliki standar-standar yang harus diikuti agar pengunjung dapat merasa nyaman dalam menonton sebuah pertunjukkan. Meski susunan panggung dan kursi penontonnya berbeda dari kebanyakan concert hall, arsitek memastikan bahwa suara yang didengar oleh penonton di belakang panggung akan sama seperti suara yang didengar oleh penonton di depan panggung. Hal ini dicapai dengan penempatan sepuluh buah reflektor lengkung pada ketinggian dua belas meter di atas panggung. Dudukan kursi yang terbuat dari kayu juga berfungsi sebagai reflektor sehingga suara yang terpantulkan lebih mudah sampai ke telinga penonton. Langit-langit ruangan yang berbentuk seperti tenda dan terbentuk dari tiga convex arches memastikan bahwa suara tersebar secara merata ke seluruh ruangan. Segala pertimbangan akustik ini menyebabkan suara murni dari orkestra atau pemain musik tunggal dapat tersebar dengan jelas ke seluruh ruangan tanpa menggunakan alat bantu seperti mic atau ampli. Susunan kursi juga diatur sedemikian rupa agar penampilan di panggung dapat terlihat jelas, baik itu dari dekat atau jauh dari panggung. Meskipun saya belum pernah menonton pertunjukkan disana dengan kursi penonton yang terisi penuh, pengalaman saya langsung mendengar dua orang musisi check sound sudah membuat saya terkagum-kagum. Bisa saja menonton di televisi, tapi suara yang dihasilkan di televisi pasti sudah sangat berbeda dengan suara yang dihasilkan langsung berkat performa akustik yang menakjubkan.
Kesimpulannya, saya memiliki kesan sangat positif pada tempat ini. Seluruh aspek dari desain hingga ke teknis terpikirkan dengan baik, menghasilkan karya arsitektur yang dapat dinikmati bersama dengan menikmati karya musik. Saya ingin kembali ke tempat ini untuk menonton pertunjukkan musik yang sebenarnya, ya mungkin suatu hari akan bisa. Jika ada yang akan berkunjung ke Berlin, jangan sampai melewati gedung ini!