Rancacili Social Housing | Fajar Harnomo
Transmutasi Kampung Kota
AR5190 Studio | Rancacili Social Housing | Fajar Harnomo | 25214022
Abraham Maslow (1962) dalam teorinya telah mengemukakan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia lewat sebuah tingkatan/urutan tertentu. Hunian atau tempat tinggal merupakan salah satu aspek penting dari beberapa kebutuhan dasar manusia lainnya yang menjadi prioritas utama. Hunian merupakan suatu tempat untuk berlindung yang dapat memberikan rasa aman, dimana aspek rasa aman dan keterlindungan tersebut akan menentukan sejauh apa kualitas hidup manusia tersebut.
Jika dikaitkan dengan perkembangan sebuah kota, hunian merupakan bagian dari sekian banyak aspek pembentuk kota yang mendominasi sebagian besar wilayah kota. Kebutuhan akan sebuah hunian menjadi hal prioritas yang dikedepankan bagi setiap masyarakat yang hidup di daerah perkotaan atau sekitarnya. Kemajuan infrastruktur kota mendorong percepatan pada pembangunan, namun hal tersebut juga mendorong laju perpindahan orang-orang menuju pusat kota. Akibatnya beban kota menjadi bertambah, apalagi dengan adanya sistem trasnportasi massal yang cepat dapat mendorong motif orang-orang pinggiran kota untuk datang (commuting).
Bercermin dari fenomena laju perkembangan sebuah kota, Kota Bandung dalam dua tahun terakhir ini mengalami peningkatan terhadap percapetan pembangunan infrastrukturnya secara signifikan. Pembangunan infrastruktur merupakan salah satu dari sekian banyak hal yang menjadi prioritas Pemerintah Kota Bandung. Seiring sejalan dengan perkembangan Kota Bandung yang kian progresif, terdapat berbagai macam persoalan yang timbul bagi warga kota itu sendiri. Persoalan akan kebutuhan tempat tinggal yang layak (hunian) menjadi hal penting yang harus diperhatikan. Dengan semkin pesatnya pembangunan di pusat kota, kepadatan pusat kota memberikan masalah bagi keberadaan hunian itu sendiri.
Apalagi dengan bergulirnya wacana untuk mengembangkan area sebelah timur kawasan Gede Bage menjadi kawasan teknopolis, maka semakin besar kemungkinan kebutuhan akan sebuah hunian yang layak dan representatif ke depannya menjadi tantangan Pemerintah Kota dalam menyediakan fasilitas hunian tersebut kepada masyarakat. Hunian pada dasarnya merupakan kebutuhan dasar dari manusia yang harus terpenuhi. Fungsi hunian merupakan tempat untuk bernaung, berlindung dan untuk mendaatkan rasa aman. Semakin besar tingkat kebutuhan akan hunian yang layak, bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) tentu menjadi permasalahan yang cukup signifikan. Dengan memiliki keterbatasan dari sisi finansial, MBR pemenuhan kebutuhan hunian yang layak pun semakin terbatas.
Permasalahan
Kampung Kota secara umum dapat diterjemahkan sebagai bagian dari bentuk dampak meningkatnya kebutuhan akan hunian di tengah kota. Kampung Kota memberikan gambaran mengenai kehidupan-kehidupan umum masyarakat yang mayoritas didominasi oleh masyarkat dengan kelas ekonomi menengah ke bawah. Kampung Kota dapat merepresentasikan kegiatan interaksi sosial yang terjalin, misalnya bagaimana orang-orang sekitar saling berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, bagaimana pola-pola aktifitas sosial yang terbentuk dalam ruang gerak yang terbatas, hingga bagaimana tingkat keamanan dan rasa saling menjaga antara satu dengan yang lainnya ada.
Dalam konteks perancangan hunian alternatif (baru) bagi masyarakat Kampung Kota, adaptasi menjadi hal penting yang harus dijadikan sebagai prioritas. Persoalan merancang hunian massal bukan hanya berbicara pada aspek estetika desain secara fungsi dan keindahan ideal saja, namun perlu adanya perhatian khusus pada aspek ‘interaksi sosial’ hingga kultur yang ada di dalam masyarakat sebelumnya, seperti halnya tentang “koridor kampung” pada permukiman padat penduduk yang ada di tengah kota.
Konsep
Tema “Transmutasi Kampung Kota” menjadi landasan untuk mengambil pendekatan perancangan dalam melihat, membaca, dan memahami persoalan-persoalan yang telah disebutkan sebelumnya. Transmutasi sendiri secara harfiah dapat dimaknai sebagai ‘pemindahan’, yaitu pemindahan terhadap karakterisitik sosial yang terbentuk ke dalam lingkungan yang benar-benar baru. Pendekatan tema ini diambil berdasarkan konteks interaksi sosial yang ada di masyarkat kampung kota, dengan membaca ruang-ruang aktifitas yang ada, maka ‘koridor kampung kota’ menjadi hal utama yang diadaptasikan pada perancangan Rumah Rusun yang baru.
Terdapatnya jaringan-jaringan sirkulasi jalan yang menghubungkan antar blok hunian yang ada secara tidak langsung menjadi menjadi titik utama aktifitas yang terjadi di Kampung Kota. Jaringan sirkulasi tersebut menjadi nadi nbagi kehidupan masyarakat Kampung Kota yang berperan penting dalam menentukan pola aktifitas yang ada di sana
Koridor Kampung Kota (gang) merupakan jalur utama bagi keberlangsungan aktifitas yang ada di sana. Koridor Kampung Kota bergerak sebagai jaringan-jaringan yang terhubung hingga ke bagian-bagian terkecil dari ruang-ruang yang. Artinya kampung kota dapat diibaratkan sebagai sebuah sel-sel yang saling terjalin antara satu dengan yang lainnya. Elemen pembentuk koridor Kampung Kota dapat dilihat dari sudut pandang yang lebih spesifik, misalnya mengenai bukaan, tututupan hingga jalur jalan yang sudah ada. Sebagai Sebagai contoh misalnya, aktifitas dan keberlangusngan koridor pada Kampung Kota dapat diamati pada salah satu kawasan pemukiman padat penduduk, yaitu di kawasan Jamika, Bandung.
Elemen-elemen pembentuk koridor Kampung Kota di Kawasan Jamika, Bandung
(Warna kuning: Bukaan; Warna biru: Tutupan; Warna hijau: Jalur koridor/pathway)
Foto dokumentasi Nur Zahrotunisaa Zagi dan disunting kembali.
Maximum Exposure
Melalui pendekatan pengamatan lapangan dari kasus-kasus Kampung Kota yang ada maka pendekatan teori yang digunakan merujuk pada penjelasan teori Herman Herztberger (1997) dan Aldo van Eyck dalam Lammers (2012: 47) mengenai makna ‘in between space’. Dalam aplikasi desain, pendekatan yang dilakukan terhadap teori tersebut adalah dengan mengupayakan kualitas spasial ruang dan karakteristik khas yang mengacu pada bentuk Kampung Kota, yaitu ddengan membuat koridor yang tidak kaku, lurus menerus dan juga deret unit tidak berada dalam satu level yang sama (split level corridor). Hal ini dimaksudkan untuk memaksimalkan view (pandangan) setiap orang agar terciptanya rasa saling menjaga dan mengawasi setiap kegiatan yang ada. Koridor memiliki peran penting dalam membentuk interaksi sosial yang terjadi antar penghuni Rusun, karena koridor pada situasi landed house juga berfungsi sebagai “ruang sosial” (Diagram 1 dan Diagram 2).
Diagram 1. Konsep pendekatan kualitas spasial dari koridor bangunan sebagai ruang sosial sekaligus sirkulasi aktifitas penghuni.
Diagram 2. Intepretasi atas blok-blok ruang pada koridor Kampung Kota secara dua dimensi.
Berdasarkan karakteristik koridor kampung kota yang ada maka pendekatan konsep perancangan secara garis besar mengadopsi konsep “Maximum Exposure and Maximum View Aspect”. Artinya setiap penghuni rusun dapat secara intens melakukan interaksi sosial, saling menjaga keamanan, saling mengawasi keadaan lingkungan antara satu penghuni dengan penghuni lainnya. Kegiatan interaksi warga kampung kota pada umunya memiliki jarak dan interaksi yang cukup dekat, dengan demikian, maka keberadaan innercourtyard pada rusun umumnya dalam konteks perancangan Rusun Rancacili ini ditiadakan. Metode yang digunakan juga mengadopsi metode ‘gang kampung’ yang berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Barada dan Mutiari (2013).
Sintesis
Dari hasil perancangan yang dilakukan terhadap perencanaan Rusun Rancacili dapat disimpulkan bahwa pendekatan desain mengenai adaptasi kampung kota ke dalam perencanaan rumah susun sangatlah penting. Keberadaan ruang-ruang komunal dan yang terbentuk dari permainan massa bangunan mempertegas keberadaan sebuah ruang. Metode dan tema transofrmasi desain dari transmutasi menitikberatkan pada pola aktifitas dan sosial yang serupa dengan kondisi sebelumnya dengan melakukan semacam “pemindahan”. Konsep pemanfaatan view secara maksimum dapat menjadi salah satu pendekatan desain yang mengadopsi bagaimana interaksi dan kultur sosial masyarakat kampung kota itu terjalin. Dengan memanfaatkan “ruang-ruang antara” disekitar hunian, maka proses aktifitas masyarkat kampung kota yang berpindah tetap dapat berkegiatan seperti saat sebelum berpindah, artinya kualitas spasial ruang akan dapat terjaga dan bahkan bertambah seiring dengan perbaikan sistem berhuni yang baik.